Bahasa Air [cerita pendek]

 Bahasa Air


            Seperti hari-hari kemarin aku terdiam kembali –tanpa bosan-bosannya - di tepian telaga yang sama, menanti riak, riap, percikan, atau apapun gerakan permukaan air sekecil dan sehalus gelombang udara sekalipun, pasti takkan lewat dari mataku. Namun entah sudah hari yang keseberapa, tapi kusadari seperhitunganku sudah hampir setengah purnama berlalu, mataku nyalang mencari tanda-tanda terjadinya perubahan dan gerakan muka air, sia-sia saja, permukaan air itu begitu tenang, hening…... Hening?!


Ya..ya..aku ingat sekarang, dulu kau pernah menyebut beberapa kali kata ini, hening! Waktu itu, seingatku, aku tidak sempat datang ketepian telaga ini dan menanti seperti sekarang, mungkin sekitar dua kali siang dan dua kali malam! Dan saat telah senggang, bergegas aku datang dan segera saja kulemparkan sebutir kerikil ke tengah-tengah telaga ini, seperti biasa gelombang riak air membentuk pola-pola bulatan yang melingkar-lingkar makin lama makin membesar ke arah tengah telaga dan, … sejurus kemudian timbul riak dan pola gelombang yang sama di permukaan, pertanda kau menyadari kehadiranku kembali di tepian telaga ini, dan membalas sapaanku. Melalui bahasa isyarat dan tanda-tanda riak, gelombang kecil dan sibakan atau kecipak air yang hanya aku dan kau mengerti, aku lalu menjelaskan bahwa aku berhalangan menyambangi tepian telaga ini karena urusan di kaum-ku, dan, ooo pantaslah hening…., begitu kau jawab.

            Hening…! Kini, tanpa sadar aku merenungi kata-kata itu. Pilihan kata yang teramat sangat mengerikan! Bukankah ada kata sepi, sunyi, lengang. dan sejenisnya? Mengapa kau memilih kata hening? Lalu akupun tersadar dan terperangah. Kau benar! Sepi, sunyi dan lengang tak akan mampu menggambarkan betapa kesendirian seperti saat ini. Sekalipun dunia tengah berpesta pora, ingar-bingar di sekeliling, seakan hanya ada aku di alam semesta! Serasa alam begitu senyap, tak ada satu gerakanpun, tak ada suara apapun, tak ada gambaran apapun, astaga!! Bahkan tak ada gesekan daun dan bahkan semilir angin paling lemah sekalipun….! Ya tidak ada! Ini lebih mengerikan dari sunyi, sepi ataupun lengang. Bukankah keheningan biasanya dibarengi dengan gelap malam mencekam?!

            Apakah ini yang kau rasakan dulu? Hening, - bukankah kita punya bahasa sendiri, untuk saling bersapa dan bercakap dan memanggil? Apa yang menahanmu menyapa lebih dulu? Apakah kaummu membuat kau penat dan lelah? Aku tenggelam dalam kolam dan gelombang pertanyaan dan pikiranku sendiri.

Kuingat-ingat lagi kejadian-demi-kejadian kali pertama secara tanpa sengaja aku sampai di sini. Sebuah telaga kecil yang sepi, yang hanya diketahui beberapa mahluk alam lain , begitu tenang, dan begitu sunyi, dan begitu memesona, dan indah, dan dikelilingi padang sunyi dan sepokok pepohonan besar dan bunga-bunga terompet, dan bunga lili liar biru tua dan putih dan kuning dan merah muda dan rerumputan segar dan banyak lagi. Tempat aku biasa berdiam adalah sepokok akar pohon besar yang tidak kutahu jenisnya, namun yang kurasakan memberikan keteduhan raga dan jiwaku takala penat menyergap. Letaknya persis di tepian telaga dengan air yang tak seberapa namun cukup jernih. Lalu tanpa sadar aku angkat sebutir kerikil kecil dan kulemparkan ke tengah telaga, tanpa maksud apapun. Dan bukankah itu yang di lakukan mahluk manusia apabila berada dekat kumpulan air, melempar batu, kerikil atau apa saja, untuk sekedar mengusik ketenangan air dan mengamati pola bulatan riak-riak gelombang yang makin lama makin membesar? Sejurus kemudian, seperti ada lemparan balasan, permukaan telaga mulai beriak, membentuk pola-pola lingkaran yang makin lama makin membesar.

Ya, apa? begitu kau berujar. Aku terbengong-bengong, merasa seperti berada di alam dongeng. Akupun menengok ke kiri dan kanan, dan kesana dan kemari, tidak ada siapapun! Lalu dengan ragu dan gemetar aku menjawab dengan melemparkan kerikil lagi, Inilah aku, di sini!  

            Ah kau iseng… katamu seraya menggambarkan pola-pola riak tawa pada muka air, pertanda senangkah kau akan sapaanku? Hanya alam yang ingat yang selanjutnya harus terjadi. Tanpa sadar, kau dan aku hanyut berbalas sapa tentang hal dunia. Kau bilang inilah tempat bercakap yang meluruhkan hati. Setelahnya pahamlah aku, cara berbahasa yang setelahnya aku sebut sebagai, bahasa air.

Setelah kali pertama itu, seterusnya semuanya menjadi seperti kebiasaan, seperti kebutuhan bahkan seperti obsesi. Ya rasanya aku terobsesi untuk selalu menyempatkan diri atau menyempal waktu mampir ketepian telaga ini, untuk berbalas sapa. Ada saja yang kita percakapkan.

 Melalui bahasa air yang kita pahami, kau menggambarkan dirimu sebagaimana kau yang kutahu sekarang ini.

Tunggu dulu! Bukankah pernah kulihat seringkali kau masuk ke wilayah kaum kami berbilang musim yang lalu, hanya saja waktu itu setiap kali kau bertandang ke wilayah kami, gambaranmu berbeda, ah.. pada mahluk manusia mungkin waktu itu--rambut hitam pendek dan alis tebal legam dan bibir merah muda alami-- setidaknya itulah ingatan mengenai gambaranmu waktu itu dan setiap kali kau berada, aku mencari-cari alasan untuk mencuri tatap atau berbalas kata sepatah-dua. Tidaklah lazim bagiku untuk mencampuri urusan kaumku. Seingatku kau pun paham memakai bahasa lain, selain bahasa air yang belakangan kau ajari kepadaku.

            Melalui bahasa air pula kami saling mengisyaratkan gambaran diri masing-masing seperti diri kami yang sekarang. Saling melukis bayangan diri, memakai cara apa saja sebisanya, yang akan tergambar dan terlihat di atas riap-riap muka air. Tentu saja kau dan aku tidak pernah saling bertemu lagi. Bukankah karenanya lalu kita bercakap memakai bahasa air? Setahuku tidak ada seorangpun dari kaumku yang menyadari kebiasaanku mendatangi telaga ini. Kaupun pernah sekilas menguraikan -nun entah di mana kau- tidak ada kaummu yang tahu percakapan bahasa air ini.  Entah jika mereka mulai merasakan keanehan pada diriku.

Lalu, tidak kurasakan engkau sebagai kaum berbeda. Kecuali dengan siapa aku dapat lepas berbahasa air, seperti layaknya dengan mahluk lain dengan bahasa yang lain. Dan tak pelak, ada saja bujukan dan dorongan dari dalam diri agar aku bertandang ke tepian telaga ini. Malam-malam sepi yang dingin ataupun menjelang fajar saat, bahkan, nyamukpun masih terlelap, aku mencari waktu dan berusaha selalu dekat ketepian telaga dan bercakap denganmu memakai bahasa air. Aku tidak tahu apa yang membuatku begitu. Mungkin keindahan tepian telagakah atau keajaiban bahasa air atau kaukah? Entah!

            Kali lain aku membuatmu terpingkal-pingkal, ada pula saat - kuingat – kau membuatku terbahak-bahak. Kami seperti tenggelam dalam riak pola-pola lingkaran air yang membuncah dalam bahasa air. Bahasa dengan mana kami saling berbagi warna dan cerita kehidupan, putih atau biru atau kuning atau merah atau hijau atau, terkadang kelabu bahkan hitam! Memakai bahasa air, bukan hanya melalui kerikil, tetapi juga dedaunan kering, potongan dahan, potongan rerumputan, apa saja yang bisa kupakai dan kau pakai. Hanya kami! Betapa kurasakan alam sungguh berwarna-warni bermandikan cahaya mentari. Sumringah!

             Setiap kali, entah sebab apa aku berusaha agar kau selalu tersenyum bahkan tergelak, melupakan sejenak keletihan hidup yang menekan. Seperti yang lainnya, akupun bukan mahluk tanpa jiwa, bukankah pernah kulewati hari-hari saat matahari seperti enggan bersinar hanya kepadaku bahkan  selewat berbilang musim? Saat mana kusadari -- dengan mata basah -- mahluk-mahluk lain bermandikan gelimang cahaya matahari sebagai tanpa beban! Betapa masa-masa yang amat menyusahkan asa dan raga. Itulah karenanya, aku kemudian sadari dan sangat memahami dan mengerti atau setidaknya mencoba mengerti kata-kata ‘hening’ dan menyebutnya sebagai mengerikan! Bukankah sudah pernah kualami bermusim-musim? Tanpa ada yang peduli atau seturutku tidak ada yang mau peduli?

Sampai ketika gambaran kata-kataku yang kurasa biasa, tapi kau rasakan seperti berbeda dari biasanya.

            Ah..kau membuatku jengah! Mengucap kata yang tak kusukakah..? demikian pernah kau berujar, entah sepenuh hati, entah untuk mengusikku!

Aku.., aku--maksudku…! Aku terperangah dan tercekat dan ternganga dan terkejut dan tercenung dan termangu-mangu dan kemudian membeku dan terpana menatap pola-pola lingkaran yang semakin membesar dan akhirnya menghilang di muka air. Aku merasakan gambaran nada proteskah? dan kemudian panik mencari tanda-tanda, riak, kecipak, percik air apa saja, apapun! Berharap kau salah menafsirkan dan menggambarkan bahasaku. Aku merasa seperti serangga yang diusir dari bunga kembang yang aku sukai. Perlahan aku bergerak, akhirnya sebelum aku sadar benar.. mulai kulemparkan kerikil demi kerikil, batu, dahan kayu, helai daun, rerumputan, apapun… demi menggambarkan bukan itu yang kumaksud.

Seingatku banyak mahluk dan kaum yang mengenal aku, dan tidak satupun yang pernah menggambarkan kata, bahasa atau gerak dariku sedemikian, tak pernah satupun dan satu kalipun!  

Dengan menanggung malu, aku sebisanya menggambarkan bukan maksudku mengumbar kata seperti itu, aku bahkan mencoba dan mengatakan apabila engkau salah mengartikan gambaran bahasa air dariku, dan aku takkan mengulangi gambaran dan pola-pola kata yang sama. Bisakah aku..?

Lalu.., lama setelahnya, kali berikut kami berbahasa air, aku pernah menggambarkan dirimu sebagai malaikat kecil, tentu karena kubayangkan gelak-tawamu yang sejenak menggeser sepi dan mengusir galau. Kali lain kugambarkan kau sebagai matahari, bukankah sinar matahari membuat apapun menjadi bersinar, tersenyum dan hidup. Demikianlah kau!

Pernah sekali waktu aku memakai bahasa manusia, karena tak sanggup aku menunggu dikepung rasa. Kau katakan sedang keluar wilayahmu, mengejar angin gunung, mereguk kesejukan dan keindahan alam lain bersama dengan kaummu yang lain. Aku ingat, tergagap-gagap mencari warna dan pola bahasa yang pantas, seperti mahluk baru belajar bercakap, dan aku tak tahu harus memakai bahasa apalagi. Memakai bahasa manusia malah membuat aku kelu sebagai tidak bisa berbahasa sama sekali. Atau karena kau enggan bercakap lagi? Lalu mengapa kau jawab panggilanku sedari permulaan? Benakku berandai-andai.

Setelahnya, semuanya tidak sama lagi! Kami, atau setidaknya menurutku, kau, tidak lagi memakai bahasa air yang sama denganku. Aku terpenjara dengan kata-kata yang tidak biasa kupakai. Ini bukan diriku! batinku memprotes. Seumur hidupku aku memakai kata dan bahasa yang sama, yang lalu kucoba kugambarkan sebisanya memakai bahasa air, seperti yang kerap aku kau ajarkan, yang kemudian kusukai dan kau sukai pula, yang tak lama setelahnya kau protes pula karena aku memboroskan kata, ujarmu waktu itu.   

Seperti ada yang hilang! ya.. tidak ada lagi tanda-tanda, gambaran yang menunjukkan kau suka tersenyum atau tergelak. Bahkan kini bahasa air yang kau pakaipun tidak semeriah, tidak lagi bertaburan warna dan warni sebagai dulu. Hanya riak kecil, itupun sekali-sekali. Tidak kulihat lagi gambaran warna yang memukau, bunga-bunga kemerlap, bahkan kecipak, riap atau gelora bahkan gelombang air pertanda kegembiraan yang mengalir deras dan membuncah dan setelahnya pecah meriah seperti di saat-saat permulaan.

Aku tidak berani lagi sembarangan melemparkan kerikil, dedaunan, kelopak bunga, dahan-dahan atau apapun, bukankah kau akan merasa tersiksa dan terganggu setiap kali aku menyapa dan memanggilmu? Atau setidaknya demikian sepenangkap ku.
Entah apa yang kau rasa tanpa aku menyapa memakai bahasa air seperti dulu? Bagaimana mungkin aku bisa tahu, kau berada entah di mana, sedang menunggu atau menatap tanda-tanda muka air seperti yang kulakukan di sini? Tak pernah kau gambarkan. Tak pernah!
            Salah dimanakah? Atau bukan tidak mungkin kau justru senang tanpa aku usik dan sapa dengan tanpa kenal waktu, pagi dan siang dan malam dan dinihari? Dan ketika aku mengatakan tak berani lagi aku mengganggumu, hilanglah semangatmu berbahasa air denganku?! Kembali benakku tenggelam dalam lautan berandai-andai.

            Yang kemudian kuingat, sudah berbilang kali tidak terjadi apa-apa ketika aku mencoba melemparkan kerikil sebagaimana biasa kami memulai dan lalui dulu. Di manakah kau? Tidak ada tanda-tanda jawaban. Hening!  Kupakai kata ini sekarang!. Hening yang dengan kejam menusuk, mengalahkan dingin dini hari dan senyap malam dan keringnya sepi, tak terperikan. 

Ada saat-saat ketika aku beranjak pergi dari tepian telaga dengan perasaan mengambang, seolah setengah diriku masih menunggu, menanti di tepian air. Dan ketika aku terbangun dini hari, serta-merta aku mencari-cari setengah diriku yang belum lagi kembali menantikan munculnya pertanda dan gambaran darimu di muka air di tepian telaga. Tidak ada terjadi apa-apa. Tidak ada!!

              Lalu aku memaksa berkesimpulan dan berkilah dan mati-matian menyangkal, bahwa bahasa air bukanlah sama seperti bahasa mahluk manusia, karena tidak ada bunyi dan nada. Tidak terlihat emosi di situ. Bagaimanapun pandainya aku atau kau menggambarkan emosi dan perasaan, bukan tidak mungkin aku atau kau membacanya dengan nada dan arti yang salah bahkan kacau, yang tidak sesuai dengan asa dan rasa saat membaca. Setiap kali, ada yang tetap tak kentara dan masih tersembunyi dan selalu terhalang!

Bagaimana pula gambaran pola-pola lingkaran di muka air dapat menggambarkan dengan seutuhnya asa dan rasa? Dan sekalipun berhiaskan dedaunan, warna-warni kelopak bunga, rerumputan, dan dahan-dahan kering? Bukankah riak, kecipak, riap dan bahkan gelombang air yang besar sekalipun akan bergulung-gulung kemudian pecah dan menyebar dan memudar dan dedaunan dan kelopak kembang dan apapun akan, setelahnya, terapung-apung berserakan tanpa arti, tanpa pola dan makna apabila tidak ada kesamaan asa dan rasa dalam membacanya dan menggambarkannya? 

Entah karena alasan apa aku masih tergerak dan pergi dan berdiam dan menunggu ditepian telaga, berharap terjadi keajaiban alam sekecil apapun, atau berharap alam akan membantuku membuat riak atau kecipak atau apapun di muka air, pertanda kau menyapa dan kemudian memanggil. Aku tidak tahu apakah kau juga berdiam dan menunggu, aku juga tidak berani bertanya dan kau tak pernah memberikan secuilpun gambaran. Dan bila kau tidak mau hanya menunggu, lalu apa yang menahanmu menyapa? Seperti di saat awal dulu, saat semuanya dirasakan bebas dan kau akan dengan ringan menyapa dan kemudian kita bercakap memakai bahasa air?  

Sampai suatu ketika, saat dengan riang aku kembali pergi ketepian telaga, sekitar petang kurasa. Ada yang tak biasa kurasakan. Aku terlongong-longong, menengok ke kiri dan ke kanan dan ke depan dan ke belakang, mencari-cari dan akhirnya menatap ke arah telaga, atau tepatnya, ke tempat yang semula adalah telaga, yang biasanya selalu berair jernih dan tenang dan sunyi dan menjanjikan keteduhan di bawah pokok akar pohon besar ini, yang akan menimbulkan pola-pola gelombang air yang semakin lama semakin membesar dan akhirnya hilang di muka air, apabila kulemparkan sebongkah kerikil atau kelopak kembang atau dedahanan atau apapun ketengahnya. Aku terkejut dan terpana dan tercekat dan termenung dan termanggu-manggu, yang kusaksikan sungguh suatu yang kurasa mengerikan. Di sana sini hanya tampak sisa-sisa urugan tanah, tak beraturan menggunduk, menutupi apa yang tadinya merupakan telaga kecilku. Tak ada lagi air yang bening menyegarkan asa dan raga, tak ada lagi harmoni alam, tak ada lagi kesejukan dan keteduhan hawa telaga. Ini bukan lagi telaga, melainkan sehamparan tanah coklat menghitam, menyerap habis air, melenyapkan telaga, di mana aku selalu berbalas sapa berbahasa air denganmu. Lalu di manakah kau? Apakah kau menjadi berang dan beringas? Dengan alasan yang tidak mungkin aku sadari. Lalu aku mulai memanggil-manggilmu sebisanya dengan putus asa, berharap ada balasan tanda yang muncul atau apapun atau apa saja yang menandai kehadiranmu dari sana entah di mana. Sia-sia! Akhirnya, inilah……..! Batinku!

Aku masih terhenyak linglung, apakah telaga ini menghilang karena aku? Apakah karena sesuatu yang kuperbuat? Atau tak kuperbuat? Atau kuucapkan atau tak kuucapkan? Bukankah kau tak pernah menggambarkan apapun? Kecuali aku memboroskan kata, katamu. Lalu kemanakah kau? Lamat-lamat aku seperti melihat lagi bayang-bayang gambaran gelak-tawamu dan senyum dan riang dan girangmu.

Awan kelam mulai turun, menghitam menghunus dan membungkus cakrawala, sekelam asa yang melingkup diri dan perlahan sekeliling mulai sunyi dan senyap dan gelap dan hening! Ya Hening!!
Hening yang setiap kali mengepung dan menyergap dan bergelayut dan melingkup gelap malam dan membungkus batin dan menerbangkan asa dan raga. Hening semacam yang pernah atau selalu kau rasa? 


Untuk sahabat virtual ku
Bogor 6 Pebuari 2011

By: Ricky Samudra T

4 comments:

  1. Pertama x baca tulisan "Bahasa Air" kesan sy: woooww....keren, daya khayal tinggi dgn alur cerita yg unik! Cerita semakin menarik coz penataan kata2 yg mengandung arti berlapis! Dalam hati sy berucap: tumben2 Ricky nulis ala Sains Fiction....! Baca yg ke 2x.....Eheeemm, ini Ricky koq tp tulisan x ini beda banget! Debut Ricky di jalur Sains Fiction sptnya berhasil!! Keren! Plus loncat beberapa level. Ada kesan de ja vu, penulis masuk ke dlm tulisan itu and dia bercerita kembali dg hati dari dalam tulisan tersebut! Begitu hidup-begitu nyata-begitu khayal-begitu samar- begitu natural....antara ada dan tiada! Baca yg ke 3x.....HENING...! Banyak gejolak emosi dalam tulisan ini! Rasa ingin tahu-persahabatan-pengertian-prasangka-terperanggah-ketakutan-kemasgulan-ketenangan-kerinduan-kecurigaan-kepasrahan-keikhlasan-kesepian-keajaiban-keriangan-keceriaan-pengharapan-kesedihan-ketidak pedulian-terkejut-malu-gamang-marah-penantian-terpana-tercekat-termenung-termangu-putus asa-senyap-gelap! Sebagai pemungkas: Ricky total di tulisan ini, bisa dibilang ini masterpiece nya! Terus berkarya Bro!!

    ReplyDelete
  2. Thank you Kirsya Cristina, lengkap dan akurat sekali reviewnya!! Sangat mewakili perasaan tulisan, dan betul banyak gejolak emosi, ( boleh dibilang memang setengah true-story). Then again, masih banyak kekurangan kok, akan terus diperbaiki dari semua aspek.. .. thank you so much for the comment and support, its mean a lot, please jangan bosan baca dan comment tulisan selanjutnya.. : ))

    ReplyDelete
  3. Setuju dengan komen Kirsya. Kesan mendalam tentang luapan gejolak perasaan sangat tergambar bahkan mencuat..Tulisan ini mampu menggapai pembacanya dan menuntunnya ikut merasakan gejolak perasaan si manusia sahabat air..Perasaan antara dua sahabat yang punya kesulitan dalam berkomunikasi dalam bahasa yang belum bisa dimengerti oleh si penutur..dan usaha si penutur untuk mengerti..sangat terwakili.. klimaks pada akhir cerita cukup bagus,.. tergambar kesedihan perpisahan sahabat dimana sang manusia tidak berhasil mengerti pesan akhir sahabat airnya...kesan ini mendalam...dan membuat seluruh cerita sangat berkesan. Bahasanya sangat indah,. sambungan dari satu bagian ke bagian lain cukup bagus. Bravo Rick... bagus banget..menurut aku sudah sempurna.

    (jadi inget sahabatku si air terjun.. yang sekarang sudah tidak bisa kusapa lagi.. biasanya tiap pagi aku menyapa dan menghirup udara segar waktu lewat di jembatan sungainya..tapi ini jauh dari keheningan, bahasa air yang lain lagi ).

    Nulis lagi yaaaa.. ditunggu..Thanks.. aku sangat menikmati tulisanmu Rick..

    ReplyDelete
  4. Thanks Thia77 sudah bersedia mampir, baca, memberi review dan compliment, sangat berarti untuk meningkatkan (isi tulisan) blog ini. Saya merasa senang dan tersanjung, utamanya karena ada yg bersedia mereview balik, menikmati dan merasa "nyambung" dengan isinya. Meski harus berjuang berbagi waktu dengan kesibukan lain, saya akan berusaha terus update dengan tulisan-tulisan lain. Seperti halnya Kirsya Cristina, silahkan subcribe atau follow, dan kalau punya blog juga, mari bertukar link.

    ReplyDelete