Bahasa Air

Ya..ya..aku ingat
sekarang, dulu kau pernah menyebut beberapa kali kata ini, hening! Waktu itu,
seingatku, aku tidak sempat datang ketepian telaga ini dan menanti seperti
sekarang, mungkin sekitar dua kali siang dan dua kali malam! Dan saat telah
senggang, bergegas aku datang dan segera saja kulemparkan sebutir kerikil ke
tengah-tengah telaga ini, seperti biasa gelombang riak air membentuk pola-pola
bulatan yang melingkar-lingkar makin lama makin membesar ke arah tengah telaga
dan, … sejurus kemudian timbul riak dan pola gelombang yang sama di permukaan,
pertanda kau menyadari kehadiranku kembali di tepian telaga ini, dan membalas
sapaanku. Melalui bahasa isyarat dan tanda-tanda riak, gelombang kecil dan
sibakan atau kecipak air yang hanya aku dan kau mengerti, aku lalu menjelaskan
bahwa aku berhalangan menyambangi tepian telaga ini karena urusan di kaum-ku,
dan, ooo pantaslah hening…., begitu kau jawab.
Hening…! Kini, tanpa sadar aku merenungi kata-kata itu. Pilihan kata yang
teramat sangat mengerikan! Bukankah ada kata sepi, sunyi, lengang. dan
sejenisnya? Mengapa kau memilih kata hening? Lalu akupun tersadar dan
terperangah. Kau benar! Sepi, sunyi dan lengang tak akan mampu menggambarkan
betapa kesendirian seperti saat ini. Sekalipun dunia tengah berpesta pora,
ingar-bingar di sekeliling, seakan hanya ada aku di alam semesta! Serasa alam
begitu senyap, tak ada satu gerakanpun, tak ada suara apapun, tak ada gambaran
apapun, astaga!! Bahkan tak ada gesekan daun dan bahkan semilir angin paling
lemah sekalipun….! Ya tidak ada! Ini lebih mengerikan dari sunyi, sepi ataupun
lengang. Bukankah keheningan biasanya dibarengi dengan gelap malam mencekam?!
Apakah ini yang kau rasakan dulu? Hening, - bukankah kita punya bahasa
sendiri, untuk saling bersapa dan bercakap dan memanggil? Apa yang menahanmu
menyapa lebih dulu? Apakah kaummu membuat kau penat dan lelah? Aku tenggelam
dalam kolam dan gelombang pertanyaan dan pikiranku sendiri.
Kuingat-ingat lagi
kejadian-demi-kejadian kali pertama secara tanpa sengaja aku sampai di sini.
Sebuah telaga kecil yang sepi, yang hanya diketahui beberapa mahluk alam lain , begitu tenang, dan begitu sunyi, dan begitu memesona, dan indah, dan
dikelilingi padang sunyi dan sepokok pepohonan besar dan bunga-bunga terompet,
dan bunga lili liar biru tua dan putih dan kuning dan merah muda dan rerumputan
segar dan banyak lagi. Tempat aku biasa berdiam adalah sepokok akar pohon besar
yang tidak kutahu jenisnya, namun yang kurasakan memberikan keteduhan raga dan
jiwaku takala penat menyergap. Letaknya persis di tepian telaga dengan air yang
tak seberapa namun cukup jernih. Lalu tanpa sadar aku angkat sebutir kerikil
kecil dan kulemparkan ke tengah telaga, tanpa maksud apapun. Dan bukankah itu
yang di lakukan mahluk manusia apabila berada dekat kumpulan air, melempar
batu, kerikil atau apa saja, untuk sekedar mengusik ketenangan air dan
mengamati pola bulatan riak-riak gelombang yang makin lama makin membesar?
Sejurus kemudian, seperti ada lemparan balasan, permukaan telaga mulai beriak,
membentuk pola-pola lingkaran yang makin lama makin membesar.
Ya, apa? begitu kau berujar. Aku terbengong-bengong, merasa seperti berada di alam
dongeng. Akupun menengok ke kiri dan kanan, dan kesana dan kemari, tidak ada siapapun! Lalu dengan ragu dan gemetar aku menjawab
dengan melemparkan kerikil lagi, Inilah aku, di sini!
Ah
kau iseng… katamu seraya menggambarkan pola-pola riak tawa
pada muka air, pertanda senangkah kau akan sapaanku? Hanya alam yang ingat yang
selanjutnya harus terjadi. Tanpa sadar, kau dan aku hanyut berbalas sapa
tentang hal dunia. Kau bilang inilah tempat bercakap yang meluruhkan hati.
Setelahnya pahamlah aku, cara berbahasa yang setelahnya aku sebut sebagai,
bahasa air.
Setelah kali pertama
itu, seterusnya semuanya menjadi seperti kebiasaan, seperti kebutuhan bahkan
seperti obsesi. Ya rasanya aku terobsesi untuk selalu menyempatkan diri atau
menyempal waktu mampir ketepian telaga ini, untuk berbalas sapa. Ada saja yang kita percakapkan.
Melalui bahasa
air yang kita pahami, kau menggambarkan dirimu sebagaimana kau yang kutahu
sekarang ini.
Tunggu dulu! Bukankah
pernah kulihat seringkali kau masuk ke wilayah kaum kami berbilang musim yang
lalu, hanya saja waktu itu setiap kali kau bertandang ke wilayah kami,
gambaranmu berbeda, ah.. pada mahluk manusia mungkin waktu itu--rambut hitam
pendek dan alis tebal legam dan bibir merah muda alami-- setidaknya itulah
ingatan mengenai gambaranmu waktu itu dan setiap kali kau berada, aku
mencari-cari alasan untuk mencuri tatap atau berbalas kata sepatah-dua.
Tidaklah lazim bagiku untuk mencampuri urusan kaumku. Seingatku kau pun paham
memakai bahasa lain, selain bahasa air yang belakangan kau ajari kepadaku.
Melalui bahasa air pula kami saling mengisyaratkan gambaran diri
masing-masing seperti diri kami yang sekarang. Saling melukis bayangan diri,
memakai cara apa saja sebisanya, yang akan tergambar dan terlihat di atas riap-riap
muka air. Tentu saja kau dan aku tidak pernah saling bertemu lagi. Bukankah
karenanya lalu kita bercakap memakai bahasa air? Setahuku tidak ada seorangpun
dari kaumku yang menyadari kebiasaanku mendatangi telaga ini. Kaupun pernah
sekilas menguraikan -nun entah di mana kau- tidak ada kaummu yang tahu
percakapan bahasa air ini. Entah jika mereka mulai
merasakan keanehan pada diriku.
Lalu, tidak kurasakan
engkau sebagai kaum berbeda. Kecuali dengan siapa aku dapat lepas berbahasa
air, seperti layaknya dengan mahluk lain dengan bahasa yang lain. Dan tak
pelak, ada saja bujukan dan dorongan dari dalam diri agar aku bertandang ke
tepian telaga ini. Malam-malam sepi yang dingin ataupun menjelang fajar saat,
bahkan, nyamukpun masih terlelap, aku mencari waktu dan berusaha selalu dekat
ketepian telaga dan bercakap denganmu memakai bahasa air. Aku tidak tahu apa
yang membuatku begitu. Mungkin keindahan tepian telagakah atau keajaiban bahasa
air atau kaukah? Entah!
Kali lain aku membuatmu terpingkal-pingkal, ada pula saat - kuingat
– kau membuatku terbahak-bahak. Kami seperti tenggelam dalam riak pola-pola
lingkaran air yang membuncah dalam bahasa air. Bahasa dengan mana kami saling
berbagi warna dan cerita kehidupan, putih atau biru atau kuning atau merah atau
hijau atau, terkadang kelabu bahkan hitam! Memakai bahasa air, bukan hanya
melalui kerikil, tetapi juga dedaunan kering, potongan dahan, potongan
rerumputan, apa saja yang bisa kupakai dan kau pakai. Hanya kami! Betapa
kurasakan alam sungguh berwarna-warni bermandikan cahaya mentari. Sumringah!
Setiap kali, entah sebab apa aku berusaha agar kau selalu tersenyum
bahkan tergelak, melupakan sejenak keletihan hidup yang menekan. Seperti yang
lainnya, akupun bukan mahluk tanpa jiwa, bukankah pernah kulewati hari-hari
saat matahari seperti enggan bersinar hanya kepadaku bahkan selewat berbilang musim? Saat mana kusadari -- dengan mata basah --
mahluk-mahluk lain bermandikan gelimang cahaya matahari sebagai tanpa beban!
Betapa masa-masa yang amat menyusahkan asa dan raga. Itulah karenanya, aku
kemudian sadari dan sangat memahami dan mengerti atau setidaknya mencoba mengerti
kata-kata ‘hening’ dan menyebutnya sebagai mengerikan! Bukankah sudah pernah
kualami bermusim-musim? Tanpa ada yang peduli atau seturutku tidak ada yang mau
peduli?
Sampai ketika gambaran
kata-kataku yang kurasa biasa, tapi kau rasakan seperti berbeda dari biasanya.
Ah..kau membuatku jengah! Mengucap kata yang tak
kusukakah..? demikian pernah kau berujar, entah sepenuh
hati, entah untuk mengusikku!
Aku.., aku--maksudku…! Aku terperangah dan tercekat dan ternganga dan terkejut dan tercenung dan termangu-mangu
dan kemudian membeku dan terpana menatap pola-pola lingkaran yang semakin
membesar dan akhirnya menghilang di muka air. Aku merasakan gambaran nada
proteskah? dan kemudian panik mencari tanda-tanda, riak, kecipak, percik air
apa saja, apapun! Berharap kau salah menafsirkan dan menggambarkan bahasaku.
Aku merasa seperti serangga yang diusir dari bunga kembang yang aku sukai.
Perlahan aku bergerak, akhirnya sebelum aku sadar benar.. mulai kulemparkan
kerikil demi kerikil, batu, dahan kayu, helai daun, rerumputan, apapun… demi
menggambarkan bukan itu yang kumaksud.
Seingatku banyak mahluk
dan kaum yang mengenal aku, dan tidak satupun yang pernah menggambarkan kata,
bahasa atau gerak dariku sedemikian, tak pernah satupun dan satu kalipun!
Dengan menanggung malu,
aku sebisanya menggambarkan bukan maksudku mengumbar kata seperti itu, aku
bahkan mencoba dan mengatakan apabila engkau salah mengartikan gambaran bahasa
air dariku, dan aku takkan mengulangi gambaran dan pola-pola kata yang sama.
Bisakah aku..?
Lalu.., lama
setelahnya, kali berikut kami berbahasa air, aku pernah menggambarkan dirimu
sebagai malaikat kecil, tentu karena kubayangkan gelak-tawamu yang sejenak
menggeser sepi dan mengusir galau. Kali lain kugambarkan kau sebagai matahari,
bukankah sinar matahari membuat apapun menjadi bersinar, tersenyum dan hidup.
Demikianlah kau!
Pernah sekali waktu aku
memakai bahasa manusia, karena tak sanggup aku menunggu dikepung rasa. Kau
katakan sedang keluar wilayahmu, mengejar angin
gunung, mereguk kesejukan dan keindahan alam lain bersama dengan kaummu yang
lain. Aku ingat, tergagap-gagap mencari warna dan pola bahasa yang pantas,
seperti mahluk baru belajar bercakap, dan aku tak tahu harus memakai bahasa
apalagi. Memakai bahasa manusia malah membuat aku kelu sebagai tidak bisa
berbahasa sama sekali. Atau karena kau enggan bercakap lagi? Lalu mengapa kau
jawab panggilanku sedari permulaan? Benakku berandai-andai.
Setelahnya, semuanya
tidak sama lagi! Kami, atau setidaknya menurutku, kau, tidak lagi memakai
bahasa air yang sama denganku. Aku terpenjara dengan kata-kata yang tidak biasa
kupakai. Ini bukan diriku! batinku memprotes. Seumur hidupku aku memakai kata
dan bahasa yang sama, yang lalu kucoba kugambarkan sebisanya memakai bahasa
air, seperti yang kerap aku kau ajarkan, yang kemudian kusukai dan kau sukai
pula, yang tak lama setelahnya kau protes pula karena aku memboroskan kata, ujarmu waktu itu.
Seperti ada yang
hilang! ya.. tidak ada lagi tanda-tanda, gambaran yang menunjukkan kau suka
tersenyum atau tergelak. Bahkan kini bahasa air yang kau pakaipun tidak
semeriah, tidak lagi bertaburan warna dan warni sebagai dulu. Hanya riak kecil,
itupun sekali-sekali. Tidak kulihat lagi gambaran warna yang memukau,
bunga-bunga kemerlap, bahkan kecipak, riap atau gelora bahkan gelombang air
pertanda kegembiraan yang mengalir deras dan membuncah dan setelahnya pecah
meriah seperti di saat-saat permulaan.
Aku tidak berani lagi
sembarangan melemparkan kerikil, dedaunan, kelopak bunga, dahan-dahan atau
apapun, bukankah kau akan merasa tersiksa dan terganggu setiap kali aku menyapa
dan memanggilmu? Atau setidaknya demikian sepenangkap ku.
Entah apa yang kau rasa
tanpa aku menyapa memakai bahasa air seperti dulu? Bagaimana mungkin aku bisa
tahu, kau berada entah di mana, sedang menunggu atau menatap tanda-tanda muka
air seperti yang kulakukan di sini? Tak pernah kau gambarkan. Tak pernah!
Salah dimanakah? Atau bukan tidak mungkin kau justru senang tanpa aku usik
dan sapa dengan tanpa kenal waktu, pagi dan siang dan malam dan dinihari? Dan
ketika aku mengatakan tak berani lagi aku mengganggumu, hilanglah semangatmu
berbahasa air denganku?! Kembali benakku tenggelam dalam lautan berandai-andai.
Yang kemudian kuingat, sudah berbilang kali tidak terjadi apa-apa ketika
aku mencoba melemparkan kerikil sebagaimana biasa kami memulai dan lalui dulu.
Di manakah kau? Tidak ada tanda-tanda jawaban. Hening! Kupakai kata ini sekarang!. Hening yang dengan kejam menusuk, mengalahkan
dingin dini hari dan senyap malam dan keringnya sepi, tak terperikan.
Lalu aku memaksa berkesimpulan dan berkilah dan
mati-matian menyangkal, bahwa bahasa air bukanlah sama seperti bahasa mahluk
manusia, karena tidak ada bunyi dan nada. Tidak terlihat emosi di situ.
Bagaimanapun pandainya aku atau kau menggambarkan emosi dan perasaan, bukan
tidak mungkin aku atau kau membacanya dengan nada dan arti yang salah bahkan kacau,
yang tidak sesuai dengan asa dan rasa saat membaca. Setiap kali, ada yang tetap
tak kentara dan masih tersembunyi dan selalu terhalang!
Bagaimana pula gambaran
pola-pola lingkaran di muka air dapat menggambarkan dengan seutuhnya asa dan
rasa? Dan sekalipun berhiaskan dedaunan, warna-warni kelopak bunga, rerumputan,
dan dahan-dahan kering? Bukankah riak, kecipak, riap dan bahkan gelombang air
yang besar sekalipun akan bergulung-gulung kemudian pecah dan menyebar dan
memudar dan dedaunan dan kelopak kembang dan apapun akan, setelahnya,
terapung-apung berserakan tanpa arti, tanpa pola dan makna apabila tidak ada
kesamaan asa dan rasa dalam membacanya dan menggambarkannya?
Entah karena alasan apa
aku masih tergerak dan pergi dan berdiam dan menunggu ditepian telaga, berharap
terjadi keajaiban alam sekecil apapun, atau berharap alam akan membantuku
membuat riak atau kecipak atau apapun di muka air, pertanda kau menyapa dan
kemudian memanggil. Aku tidak tahu apakah kau juga berdiam dan menunggu, aku
juga tidak berani bertanya dan kau tak pernah memberikan secuilpun gambaran.
Dan bila kau tidak mau hanya menunggu, lalu apa yang menahanmu menyapa? Seperti
di saat awal dulu, saat semuanya dirasakan bebas dan kau akan dengan ringan
menyapa dan kemudian kita bercakap memakai bahasa air?
Sampai suatu ketika,
saat dengan riang aku kembali pergi ketepian telaga, sekitar petang kurasa. Ada yang tak biasa kurasakan. Aku terlongong-longong, menengok ke kiri dan ke
kanan dan ke depan dan ke belakang, mencari-cari dan akhirnya menatap ke arah
telaga, atau tepatnya, ke tempat yang semula adalah telaga, yang biasanya
selalu berair jernih dan tenang dan sunyi dan menjanjikan keteduhan di bawah
pokok akar pohon besar ini, yang akan menimbulkan pola-pola gelombang air yang
semakin lama semakin membesar dan akhirnya hilang di muka air, apabila
kulemparkan sebongkah kerikil atau kelopak kembang atau dedahanan atau apapun ketengahnya.
Aku terkejut dan terpana dan tercekat dan termenung dan termanggu-manggu, yang
kusaksikan sungguh suatu yang kurasa mengerikan. Di sana sini hanya tampak sisa-sisa urugan tanah, tak beraturan menggunduk,
menutupi apa yang tadinya merupakan telaga kecilku. Tak ada lagi air yang
bening menyegarkan asa dan raga, tak ada lagi harmoni alam, tak ada lagi
kesejukan dan keteduhan hawa telaga. Ini bukan lagi telaga, melainkan
sehamparan tanah coklat menghitam, menyerap habis air, melenyapkan telaga, di mana
aku selalu berbalas sapa berbahasa air denganmu. Lalu di manakah kau? Apakah
kau menjadi berang dan beringas? Dengan alasan yang tidak mungkin aku sadari.
Lalu aku mulai memanggil-manggilmu sebisanya dengan putus asa, berharap ada
balasan tanda yang muncul atau apapun atau apa saja yang menandai kehadiranmu
dari sana entah di mana. Sia-sia! Akhirnya, inilah……..! Batinku!
Aku masih terhenyak
linglung, apakah telaga ini menghilang karena aku? Apakah
karena sesuatu yang kuperbuat? Atau tak kuperbuat? Atau kuucapkan atau tak
kuucapkan? Bukankah kau tak pernah menggambarkan apapun? Kecuali aku
memboroskan kata, katamu. Lalu kemanakah kau? Lamat-lamat aku seperti melihat lagi bayang-bayang gambaran gelak-tawamu
dan senyum dan riang dan girangmu.
Awan kelam mulai turun,
menghitam menghunus dan membungkus cakrawala, sekelam asa yang melingkup diri
dan perlahan sekeliling mulai sunyi dan senyap dan gelap dan hening! Ya
Hening!!
Hening yang setiap kali
mengepung dan menyergap dan bergelayut dan melingkup gelap malam dan membungkus
batin dan menerbangkan asa dan raga. Hening semacam yang pernah atau selalu kau rasa?
Untuk sahabat
virtual ku
By: Ricky Samudra
T
Pertama x baca tulisan "Bahasa Air" kesan sy: woooww....keren, daya khayal tinggi dgn alur cerita yg unik! Cerita semakin menarik coz penataan kata2 yg mengandung arti berlapis! Dalam hati sy berucap: tumben2 Ricky nulis ala Sains Fiction....! Baca yg ke 2x.....Eheeemm, ini Ricky koq tp tulisan x ini beda banget! Debut Ricky di jalur Sains Fiction sptnya berhasil!! Keren! Plus loncat beberapa level. Ada kesan de ja vu, penulis masuk ke dlm tulisan itu and dia bercerita kembali dg hati dari dalam tulisan tersebut! Begitu hidup-begitu nyata-begitu khayal-begitu samar- begitu natural....antara ada dan tiada! Baca yg ke 3x.....HENING...! Banyak gejolak emosi dalam tulisan ini! Rasa ingin tahu-persahabatan-pengertian-prasangka-terperanggah-ketakutan-kemasgulan-ketenangan-kerinduan-kecurigaan-kepasrahan-keikhlasan-kesepian-keajaiban-keriangan-keceriaan-pengharapan-kesedihan-ketidak pedulian-terkejut-malu-gamang-marah-penantian-terpana-tercekat-termenung-termangu-putus asa-senyap-gelap! Sebagai pemungkas: Ricky total di tulisan ini, bisa dibilang ini masterpiece nya! Terus berkarya Bro!!
ReplyDeleteThank you Kirsya Cristina, lengkap dan akurat sekali reviewnya!! Sangat mewakili perasaan tulisan, dan betul banyak gejolak emosi, ( boleh dibilang memang setengah true-story). Then again, masih banyak kekurangan kok, akan terus diperbaiki dari semua aspek.. .. thank you so much for the comment and support, its mean a lot, please jangan bosan baca dan comment tulisan selanjutnya.. : ))
ReplyDeleteSetuju dengan komen Kirsya. Kesan mendalam tentang luapan gejolak perasaan sangat tergambar bahkan mencuat..Tulisan ini mampu menggapai pembacanya dan menuntunnya ikut merasakan gejolak perasaan si manusia sahabat air..Perasaan antara dua sahabat yang punya kesulitan dalam berkomunikasi dalam bahasa yang belum bisa dimengerti oleh si penutur..dan usaha si penutur untuk mengerti..sangat terwakili.. klimaks pada akhir cerita cukup bagus,.. tergambar kesedihan perpisahan sahabat dimana sang manusia tidak berhasil mengerti pesan akhir sahabat airnya...kesan ini mendalam...dan membuat seluruh cerita sangat berkesan. Bahasanya sangat indah,. sambungan dari satu bagian ke bagian lain cukup bagus. Bravo Rick... bagus banget..menurut aku sudah sempurna.
ReplyDelete(jadi inget sahabatku si air terjun.. yang sekarang sudah tidak bisa kusapa lagi.. biasanya tiap pagi aku menyapa dan menghirup udara segar waktu lewat di jembatan sungainya..tapi ini jauh dari keheningan, bahasa air yang lain lagi ).
Nulis lagi yaaaa.. ditunggu..Thanks.. aku sangat menikmati tulisanmu Rick..
Thanks Thia77 sudah bersedia mampir, baca, memberi review dan compliment, sangat berarti untuk meningkatkan (isi tulisan) blog ini. Saya merasa senang dan tersanjung, utamanya karena ada yg bersedia mereview balik, menikmati dan merasa "nyambung" dengan isinya. Meski harus berjuang berbagi waktu dengan kesibukan lain, saya akan berusaha terus update dengan tulisan-tulisan lain. Seperti halnya Kirsya Cristina, silahkan subcribe atau follow, dan kalau punya blog juga, mari bertukar link.
ReplyDelete